Perjuangan Anak Usia 13 Tahun Rela Gendong Bayi Sambil Jualan Tisu

PORTALINSIDEN.com — Diusia 13 tahun harusnya menjadi masa-masa bahagia seorang anak mengecam pendidikan di sekolah dan bermain bersama teman-temannya. Tapi berbeda dengan yang dirasakan AC yang rela mengorbankan kanak-kanak hanya untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya.

Beralaskan sendal jepit kusam warna biru, dengan celana pendek kain dan kaus oblong hitam miliknya, AC tampak berdiri di sudut lampu traffic light yang tak jauh dari persimpangan jalan sambil menggendong bayi laki-laki yang merupakan keponakannya.

Seakan sudah bersahabat dengan panas terik mentari di siang hari, AC yang tubuhnya telah basah oleh keringat seakan tak kenal lelah terus berjalan dari satu kendaraan ke kendaraan lain hanya untuk menjual tisu kepada pengendara yang berhenti saat tertahan di lampu merah.

Walaupun pakaian kumal dan dekil menempel di badan, namun sedikit senyum tipis yang menghiasi wajah saat menjajakan dagangan, AC mampu menggerakkan hati beberapa pengendara yang merasa iba untuk merogoh kocek membeli tisu miliknya.

Rp.5.000 (Lima ribu rupiah), tidak lebih. Itu adalah hasil jerih payahnya dari menjual satu bungkus tisu ke pengendara. Mulai matahari menampakkan sinarnya hingga bulan menghiasi malam, hasil yang didapatkan kadang Rp.35.000 sampai Rp.50.000. “Tidak Banyak, Tapi Cukup” kalimat ini menjadi gambaran rasa syukur atas apa yang diperolehnya saat itu.

Hujan dan panas belum mampu mengalahkan keras kepalanya. Motivasi membantu ekonomi keluarga menjadi penyemangat bagi dirinya menapaki keras kehidupan. Satu tekat di hati, kumpulkan pundi-pundi rupiah dari orang-orang dermawan.

AC bukan satu-satunya anak yang bergumul di tengah-tengah kepulan asap dan debu jalanan. Masih banyak dari mereka yang berdiri di sudut-sudut kota menanti dengan sabar lampu traffic light menunjukkan cahaya harapannya.

Ada yang menjajakan air mineral, makanan ringan dan sticker serta buku keagamaan. Ada juga yang bermodalkan gitar kecil dan suara pas-pasan untuk ngamen, memulung plastik, bahkan meminta-minta, itu semua hanya demi sesuap nasi dan bertahan hidup.

Tak ada yang ingin dipersalahkan atas kondisi mereka…? Hanya saja takdirnya yang terlahir di keluarga belum mampu yang memaksa mereka harus berjuang lebih keras dari anak sebayanya.

Hati ini sakit jika harus menutup mata di hadapan mereka, mengabaikan kemandirian yang mereka tampilkan, tidak peduli dengan sikap kebaktian mereka kepada ibu bapaknya. Padahal, cukup doa dan dukungan moril yang mereka butuhkan, bukan cemoohan.

AC adalah anak kedua yang lahir di Samarinda, namun besar di Parepare. Tinggal di pinggiran kota bersama Ibu dan saudara-saudaranya, karena diusia seumur jagung dia harus diperhadapkan perceraian orang tua yang hingga kini menjadi beban berat yang harus dipikul.

*Sikap Pemerintah
Penertiban anak jalanan, pengamen dan pengemis yang dinilai meresahkan masyarakat menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah.

Dinas Sosial, Dinas PPPA dan Satpol-PP intens melakukan razia di sejumlah titik yang menjadi pusat kumpul para anak jalanan, pengemis dan pengamen. Dimana dominan yang terjaring merupakan anak di bawah umur, sehingga dilakukan pembinaan dan dikembalikan ke keluarganya.

*Sikap Publik
Banyak alasan yang menjadikan seorang anak memilih hidup di jalanan ketimbang bersantai di istana megah. Selain faktor ekonomi, pergaulan adalah dorongan kuat bagi mereka melangkahkan kakinya.

Karena itu, penting bagi seorang anak diberikan pembinaan mental sejak dini, didukung dengan pengawasan serta perhatian orang tua, saudara dan sahabat. Agar risiko-risiko salah jalan dapat segera diantisipasi.