Matamu Buta, Hatimu Jangan

PORTALINSIDEN.com — Tadi malam ku susuri kota tempatku tinggal, tepat pukul 23.45 saat ku tatap jam tangan yang melekat di tangan kiri ku. Mengenakan jaket kesukaan yang memang hanya itu yang ku punya, ditambah celana panjang warna hitam sambil berkendara tanpa asa dan arah.

Terhias lampu-lampu di sepanjang jalan, yang memberikan cahayanya, dan menggambarkan kemegahan dari kota kelahiran ku. Kota yang ditopang oleh bangunan-bangunan tinggi, yang berbaris rapi memupuk dan menumpuk kemuliaan.

Ditemani sepi dan angin dingin yang menerpa kulit hitam ku, roda dua yang tadinya ku kendarai berhenti di perempatan traffic light. Tidak lama, tapi banyak tanya yang menggoyahkan hati. Malam yang larut, bintang di langit seakan sudah malu menunjukkan dirinya, tapi mata belum buta menyaksikan aktivitas di perempatan jalan itu.

Lima anak yang usianya 10 tahun hingga 14 tahun, yang harusnya sudah terlelap di rumahnya menunggu mentari untuk mengingatkan kewajiban menimba ilmu di bangku sekolah. Namun ironinya, mereka masih setia menunggu kedatangan para pengendara budiman, mengharapkan uluran tangan demi hidup dan keterlantaran.

Kantong kresek jadi wadah mengumpul belas kasih, dengan langkah kecil yang tertatih-tatih dia datang mengetuk hati setiap pengendara. “Saya belum makan” suara lirih nan sedu terdengar berbisik dari bocah laki-laki yang tampak wajahnya sudah kusam. Butiran keringat dan debu yang tidak ingin berpisah dari tubuhnya, menjadi saksi masa kanak-kanaknya diukir dengan tinta perjuangan di atas kertas kusut yang tak berwarna.

Kasihan pikirku, ku rogoh selembar uang kertas berwarna ungu dari kantong celana, ku dapati senyum pahlawan nasional Frans Kaisiepo, dan di belakangnya seorang wanita menari, seakan melepas kepergian ke tuan yang baru. Sampai jumpa lagi kataku, tetaplah jadi secercah harapan yang memberikan kehidupan.

Cahaya hijau yang kemudian membukakan jalan, dan doa dari si pencari hati mengantar kepergian, melaju menuju ketenangan. Dalam kesucian ku berpasrah, mata ini boleh buta, hati ini jangan.

Kehangatan sinar mentari menyambut pagi, mengantar embun memberikan kesejukan hati. Kicauan burung kenari terdengar tidak semerdu hari kemarin, masih terbesit nasib si kecil yang mengais pundi rezeki di tengah kesunyian.

Tidak ingin berlarut dengan kehampaan, ku sucikan tubuh dengan penuh penghayatan. Tidak peduli pakaian lusuh yang menyatu di badan, roda dua telah siap mengejar pengharapan.

Bertemu sang nakhoda, ku kisahkan gundah di hati. Kisah pilu, tentang seorang bocah yang beradu dengan penjaga malam, demi menyambut cahaya matahari. Tidak kah kau gelisah? Saat memegang kemudi kapal mengarungi samudera, kau menutup mata, seakan tidak peduli terumbu karang yang dilalui.

Sedikit senyum di sudut bibir kanan, sang nakhoda berbalik bukan untuk pergi, secangkir teh dia tawarkan, untuk memberikan kesejukan dan kehangatan. Sejenak termenung, bukan bingung, hanya merangkai kata untuk hati yang bimbang. Memberikan pencerahan, demi anak masa depan.

Memang layar telah terbentang, suara lantang terdengar dari sang Nakhoda. Roda kemudi yang mengikuti hasrat, diterpa ombak silih berganti. Ada banyak terumbu karang yang berjuang di dasar lautan, tampak jelas di pelupuk mata, namun malang, ego merusak dan menghanyutkannya menuju ketidakberdayaan.

Bukan sekali, sepuluh kali, bahkan seratus kali awak kapal memberikan harapan, namun tidak ada kepastian yang didapatkan. Aku bisa apa, aku hanya nakhoda kecil, yang punya janji mengantarkanmu ke perinduan.