3 Fase Dinamika Melatarbelakangi KDRT, Yang Terakhir Bikin Mewek

PORTALINSIDEN.com, Parepare — Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dikenal sebagai Siklus kekerasan atau Cycle of violence merupakan kejadian yang terjadi pada relasi personal atau dalam keluarga, kerap menjadi korban seorang perempuan.

Kabid Kesetaraan Gender DP3A Kota Parepare, Sriyanti Ambar menyampaikan, ada 3 fase dinamika yang melatarbelakangi terjadinya KDRT.

Pertama, kata dia, fase ketegangan. Pelaku biasanya mulai dengan melakukan ancaman-ancaman, kemudian muncul kekerasan lisan seperti berteriak, mengumpat, memaki, dan kekerasan fisik ringan Seperti mendorong penyintas hingga hampir terjatuh.

“Pada kondisi ini biasanya penyintas berusaha menenangkan pelaku. Sayangnya, seringkali upaya ini tidak berhasil sehingga penyintas menarik diri untuk menjauhi kemungkinan kekerasan lebih lanjut,” ujar Ketua Puspaga Peduli Ta’ Kota Parepare ini.

Menurut Sriyanti Ambar, situasi seperti itu makin membuat pelaku merasa lebih superior, sehingga akhirnya terjadilah fase kedua yaitu fase akut atau penganiayaan akut. Pada fase ini terjadi kekerasan yang merupakan ledakan ketegangan sebelumnya yang tertahan.

“Dalam konteks ini, pelaku biasanya menyatakan memiliki tujuan untuk memberikan pelajaran kepada penyintas, namun selanjutnya kehilangan kendali dan terjadilah beberapa bentuk kekerasan fisik, pukulan, tendangan, tusukan, tembakan, cekikan, kekerasan seksual, kekerasan emosional seperti penghinaan yang sangat kasar, umpatan memalukan yang nyaring sehingga dapat di dengar orang lain,” jelasnya.

Sriyanti Ambar mengatakan, pada sebagian besar kasus ini, setelah fase akut mereda, pelaku meminta maaf dan menyatakan penyesalan kepada penyintas serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.

Masuk fase ketiga, ujar Sekretaris PUSPA Parepare ini, biasanya penyintas luluh, mempercayai janji-janji tersebut dan memutuskan untuk memaafkan pelaku sehingga situasi tampak tenang. “Pada hampir semua kasus, ketenangan yang terjadi tersebut bersifat semu belaka,” ujarnya.

Lalu apa yang membuat perempuan berkali-kali memaafkan pelaku kekerasan dan tetap bertahan dalam hubungan yang toxic ?

Menurut Sriyanti Ambar, ada beberapa faktor yang membuat penyintas bertahan dalam KDRT dan hubungan toxic, diantaranya adanya perasaan takut kepada pelaku, bertahan agar tetap bersama anak, adanya faktor budaya dan agama untuk mempertahankan rumah tangga serta adanya harapan dan keyakinan pelaku akan berubah.

“KDRT menjadi sebuah siklus yang harus diputus perputarannya. KDRT bukan masalah pribadi suatu keluarga, melainkan merupakan tindakan kriminal melawan hukum (UU 23/2004 tentang penghapusan KDRT : Pasal 351 Jo 356 KUHP). Anda berhak menuntut Pelaku dan mencari perlindungan,…STOP Kekerasan, Stop KDRT,” pesannya.

Bila menjadi korban KDRT, kata dia, jangan tunggu hingga perbuatan tersebut menjadi siklus berulang atau Cycle of violence. Hal tersebut dapat membahayakan tidak hanya pada fisik, tapi juga mengancam kesehatan mental, segera ambil tindakan tegas.

“Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah kekerasan atau violence. Kekerasan tidak hanya dialami oleh perempuan melainkan dialami juga oleh laki-laki. Mari bersama wujudkan keadilan dan kesetaraan gender, karena gender equality is a human fight, not a female fight,” tandasnya. (adf)