PORTALINSIDEN.com, KALBAR- Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan ke-77 Kamis, 10 November 2022 lalu sebanyak 251 orang WNI/Pekerja Migran Indonesia-Bermasalah (PMI-B) dideportasi oleh pemerintah Malaysia dari wilayah Sarawak ke Indonesia melalui Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
“Kami dari KJRI Kuching melakukan pendampingan dan mengantar ke 204 WNI/PMI-B yang dibawa oleh Imigrasi Malaysia dari Depo Tahanan Imigrasi Bekedu Miri, Sarawak Malaysia menuju ke PLBN Entikong,” kata Konsul Jenderal Republik Indonesia, Raden Sigit Witjaksono yang ikut mengantar para PMI tersebut di PLBN Entikong, Kamis (10/11/22).
Sigit mengatakan, dari 251 orang WNI/PMI-B yg dideportasi tersebut 204 sebelumnya ditangkap di wilayah Miri saat bekerja di perusahaan kelapa sawit, namun karena tidak memiliki kelengkapan dokumen resmi seperti paspor dan lainnya sehingga mereka ditangkap oleh Imigrasi Malaysia.
Di antara mereka itu terdapat 18 orang anak-anak PMI yg orang tuanya bekerja pada Tawakal Megah Sdn Bhd dan Pertubuhan Peladang Kebangsaan (Nafas) di ladang Sungai Karap-Miri. Anak-anak itu berstatus sebagai berstatus sebagai pelajar pada Community Learning Center (CLC).
Selain 204 orang WNI/PMI-B itu terdapat juga 47 orang WNI/PMI-B yang berasal dari tahanan di Depo Tahanan Imigrasi Semuja di Serian, mereka itu terdiri dari 40 orang lelaki dan 7 orang perempuan.
Total keseluruhannya ada 259 orang yg direpatriasi dalam waktu yang sama karena kami juga merepatriasi sebanyak 8. orang yaitu 7 penghuni tempat penampungan di KJRI (shelter) dan 1 orang yang sedang sakit dari daerah Miri”, lanjutnya.
Dari kejadian tersebut, terdapat indikasi kuat adanya pelanggaran hukum dari majikan perusahaan perkebunan kelapa sawit yg telah mempekerjakan PMI secara illegal dan tidak bertanggung jawab untuk mengurus izin tinggal anak-anak dari para PMI tersebut.
Berdasarkan keterangan Sam Fernando Kepala Kantor Imigrasi Entikong yang hubungi (Minggu, 13/11/22), setelah mereka tiba di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) kepadanya dilakukan pendataan dan diterakan izin masuk pada dokumen perjalannya yg berupa SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) itu.
Selanjutnya mereka dipilah oleh petugas Pos Pelayanan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PP-BP2MI) Entikong. Jika mereka berasal dari Kalimantan Barat, maka akan menghubungi Dinas Sosial Kabupaten/Kotanya untuk melakukan penjemputan sedangkan bagi mereka yg berasal dari luar Kalimantan Barat, akan diantar ke Bandara atau Pelabuhan Laut Pontianak dengan catatan jika anggaran BP2MI tersebut masih ada.
Jika tidak, maka mereka terpaksa melakukan usaha mandiri untuk bertahan hidup selanjutnya, baik itu meminta bantuan keluarga atau orang lain yaitu untuk bertahan hidup di sekitar daerah perbatasan atau pulang ke kampung asalnya. Yg paling mengkhawatirkan lagi adalah jika mereka kembali jatuh ke dalam pelukan para tekong (calo tenaga kerja) untuk kemudian diperdagangkan kembali kepada majikan/perusahaan yg membutuhkan. Dan jika hal ini terjadi, tentu saja mereka akan diperbudak lagi karena dipekerjakan secara illegal.
Terkait dengan pemulangan WNI/PMI-B ini, mekanisme yg harus menjadi rujukan adalah Peraturan Menteri Sosial No.30/2017 tentang Pemulangan WNI Migran Korban Perdagangan Orang Dari Negara Malaysia Ke Daerah Asal.
Dalam Pasal 5 peraturan tersebut diatur bahwa (1) Debarkasi Pemulangan WNI Migran (WNI-M) Korban Perdagangan Orang (KPO) meliputi a. Pelabuhan Tanjung Pinang bagi WNI-M KPO dengan rujukan dari Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru; dan b. Pontianak bagi WNI-M KPO dengan rujukan dari Konsulat Jenderal RI di Kuching.
Berdasarkan Permen tersebut di atas, maka di titik entri poin tepatnya di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI Darat) Entikong, dilakukan pendataan dan verifikasi oleh satuan tugas (Satgas) yaitu petugas yg terdiri atas atas beberapa instansi terkait yg diberikan kewenangan untuk melakukan kordinasi dalam proses pemulangan WNI-M KPO sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden No.45/2013 tentang Kordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia.
Untuk pemulangan ke daerah asal, ternyata mereka yg dipulangkan dari Sarawak ke Entikong (10/11/22) lalu, melakukannya secara mandiri karena mungkin anggaran instansi terkait sudah tidak ada lagi. Tidak terbayang bagaimana kondisi lahir batin saudara kita para PMI tersebut jika mereka kurang sehat, tidak punya bekal, tidak punya saudara sementara mereka harus juga mengawal anak-anaknya yg masih kecil. Dalam keadaan kalut seperti itu, tidak tertutup kemungkinan mereka terperosok ke dalam jurang yg menyesatkan atau bahkan jatuh kembali ke dalam pelukan para calo perdagangan orang (tekong).
Pada dasarnya kita ingin agar hal seperti di atas dapat diakhiri dan tidak pernah berulang lagi terjadi tetapi hal ini kemungkinan baru dapat diwujudkan setelah ada suatu kolaborasi raksasa dari setiap elemen instansi pemerintah atau masyarakat, misalnya seperti ini :
1. Kementerian Tenaga Kerja bersama dengan Kementerian Dalam Negeri menyampaikan kepada pemerinah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) untuk melakukan sosialisasi atau upaya maksimal agar warganya tidak ada yg berangkat ke luar negeri (Malaysia) untuk bekerja apapun di luar negeri jika tidak ada jaminan tertulis atas hak-hak yg akan diperoleh;
2. Kepala perwakilan RI di luar negeri (KBRI/KJRI/KRI) selain melaporkan kepada pihak kepolisian setempat dengan terlapor majikan yg telah berbuat suatu pelanggaran hukum terhadap WNI, juga melalui Menteri Luar Negeri mengajukan permohonan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk memasukkan ke dalam Daftar Tangkal (Penangkalan) nama seseorang atau pimpinan korporasi yg telah terbukti a. mempekerjakan PMI secara illegal, b. melakukan perbuatan pidana kepada PMI atau b. tidak memenuhi hak-hak PMI. Dengan masuknya nama para WNA yg telah melakukan pelanggaran hukum terhadap WNI ke dalam Daftar Tangkal (black list, tidak boleh memasuki wilayah Indonesia), diharapkan agar setiap WNA sadar untuk tidak berbuat jahat dalam bentuk apapun terhadap setiap WNI. Pengajuan permohonan penangkalan itu harus dilakukan oleh kepala perwakilan RI kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Menteri Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 236 (3a) Peraturan Pemerintah No.48/2021 tentang Perubahan Ketiga atas PP.31/2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU.6/2011 tentang Keimigrasian. Menurut Pasal 102 UU.6/2011 tentang Keimigrasian, jangka waktu Penangkalan berlaku paling lama 6 bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan.
3. Kementerian Hukum dan HAM tidak memberikan Penghargaan Desa/Kelurahan Sadar Hukum sebagaimana setiap tahun dilakukan kepada Desa/Kelurahan yg warganya ada yg telah melakukan pekerjaan secara illegal di luar negeri. Sudah saatnya komponen nihil warga bekerja secara illegal di luar negeri dapat menjadi item yg harus dimasukkan ke dalam komponen penilaian suatu Desa/Kelurahan Sadar Hukum. Dengan hal tersebut, diharapkan bahwa pemerintah daerah aktif untuk mencegah terjadinya PMI illegal yg telah mengusik harga diri bangsa di luar negeri. Jika para warga dari suatu daerah banyak yg ingin bekerja pada perkebunan kelapa sawit, pemda harus mengarahkan mereka untuk bekerja di dalam negeri saja yg cukup dengan bermodalkan KTP atau surat keterangan lainnya tanpa memerlukan paspor, biaya izin tinggal/pajak orang asing dan resiko ditangkap oleh polisi suatu negara setempat;
4. Direktorat Jenderal Imigrasi menempatkan para atase imigrasi/staf teknis imigrasi pada perwakilan RI di luar negeri yg memiliki kualifikasi sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Imigrasi agar hasil pemeriksaan terhadap pihak-pihak yg diduga telah melakukan tindak pidana/perbuatan melanggar hukum dengan WNI sebagai korbannnya memiliki legitimasi hukum guna dilakukan langkah hukum selanjutnya. Hasil dari pemeriksaan oleh PPNS Imigrasi dimaksud diharapkan bisa dijadikan dasar untuk melakukan pencegahan kepada pelaku pelanggaran hukum yg korbannya merupakan WNI itu; jika ia/mereka suatu saat berada di Indonesia dan akan meninggalkan wilayah di Indonesia. Kepada yg bersangkutan diizinkan berangkat meninggalkan wilayah Indonesia, jika penegakkan hukum atas perbuatannya terhadap WNI tersebut; telah tuntas dilaksanakan secara adil. Dan jika prosedur pencegahan model seperti ini dianggap belum diatur, kiranya hal ini dapat diatur kemudian dalam pembaharuan peraturan terkait hal dimaksud agar terlihat lebih bahwa negara betul-betul sangat melindungi warganya. Untuk pencegahan yaitu larangan sementara bagi seseorang guna melakukan perjalanan ke luar, jangka waktunya diatur dalam Pasal 97 UU.6/2011 tentang Keimigrasian yaitu berlaku paling lama 6 bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan;
5. Atase Ketenagakerjaan dan kantor perwakilan RI di luar negeri aktif memperjuangkan hak-hak para PMI-M KPO misalnya uang tabungan atau jaminan sosial pekerja yg tertinggal atau yg belum diserahkan kepada PMI dimaksud.
Harapan kita, dengan adanya sinergitas dari semua instansi terkait dapat mengurangi atau meniadakan sama sekali kejadian yg sudah rutin dan selalu terjadi setiap tahun, selama puluhan tahun itu Menurut hemat saya selama ini, setelah selesainya rangkaian proses deportasi/repatriasi, permasalahan dianggap tuntas, case closed. Namun demikian kenyataannya lain, karena biasanya setiap tahun kejadian seperti ini selalu terulang dan berlangsung di beberapa daerah perbatasan berbeda seperti di Semananjung Malaysia dengan Sumatera, Sarawak dengan Entikong dan Sabah dengan Nunukan. Kita sangat miris akan kejadian seperti di atas dan akan sangat miris lagi jika pada proses pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Tengah banyak pribadi/korporasi Malaysia mendapatkan kesempatan untuk menangguk keuntungan karena terlibat dalam berbagai proyek pembangunan IKN sementara di satu sisi, banyak saudara kita yg bersusah payah mencari nafkah secara teraniaya di negeri seberang sana. (Hum)