Disisi lain, ada perempuan miskin yang tinggal di kota, dia mudah mengakses fasilitas publik dan mudah mengakses informasi. Ketika pemerintah menentukan siapa yang lebih didahulukan mendapatkan bantuan, sudah pasti perempuan yang tinggal di desa dan rumahnya di dekat sungai itu yang lebih didahulukan atau diprioritaskan dibandingkan dengan perempuan miskin yang tinggal di kota.
Dari mana memulai melakukan analisis GEDSI? Pemerintah pusat telah merumuskan alat analisis yang diberi nama Gender Analisis Patway (GAP) dan Gender Budget Statemen (GBS). GAP sebuat alat analisis untuk menyusun perencanaan berdasarkan kebutuhan strategis dan praktis yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. GAP ini disusun melalui 9 langkah yang saling mendukung satu sama lainnya.
Sedangkan GBS sebuah alat analisis untuk mengalokasikan anggaran untuk mencapai output kegiatan yang sudah responsif gender. Kegiatan yang direncanakan itu didukung anggaran untuk mencapai output atau hasil yang ingin dicapai sebagai upaya untuk menjawab permasalahan ketimpangan atau ketidakadilan tertentu dari salah satu jenis kelamin, disabilitas atau yang rentan dan marginal.
Implementasi GEDSI didukung oleh kelembagaan program seperti Pokja PUG, Penggerak PPRG, Klinik PPRG, dll. Pokja PUG diketuai Bappeda, anggotanya semua OPD. Penggerak PPRG beranggotakan 4 OPD; Bappeda, Badan Pengelola Keuangan Daerah, Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Inspektorat. Jika dua kelembagaan ini berjalan efektif, daerah itu bisa meningkatkan IPM sekaligus murunkan kemiskinan. Kelembagaan lainnya yang relevan yaitu Klinik PPRG.
Kabupaten Maros dan Kota Parepare, dua dari tujuh daerah Program Inklusi-BaKTI di KTI yang sudah memulai. Klinik PPRG berfungsi layaknya klinik medis. OPD yang belum terampil melakukan analisis gender/GEDSI, didampingi oleh tim pada saat menyusun perencanaan tahunan (RKA) sehingga usulannya menjawab permasalahan secara tepat.