PORTALINSIDEN.com — Mendorong perubahan kebijakan di daerah tidak ada yang persis sama. Tiap daerah punya dinamika masing-masing. Ada yang merasa mudah tetapi sebaliknya ada yang merasa sulit. Banyak faktor yang mempengaruhi dinamika itu. Posisi LSM sebagai pihak yang berada di luar kekuasaan harus mampu meyakinkan para pengambil kebijakan akan manfaat agenda perubahan yang sedang difasilitasi.
Jika pengambil kebijakan tidak punya pengetahuan dan tidak tahu manfaat bagi daerahnya terhadap kebijakan yang sedang diadvokasi oleh LSM, boleh jadi belum tuntas identifikasi champion di daerah itu sebagai mitra strategis. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada daerah yang sudah memiliki pengetahuan dan tahu manfaatnya kebijakan yang diadvokasi LSM tetapi tetap saja tidak mau.
Daerah yang sulit menerima perubahan kebijakan, sesungguhnya itu tantangan bagi LSM karena pasti ada cara untuk membuat pengambil kebijakan memiliki pengetahuan sekaligus mengetahui manfaat kebijakan itu bagi daerahnya. Salah satu cara mengatasi tantangan di daerah yang sulit menerima perubahan kebijakan adalah fakta dan data, bukan masanya menggunakan cara menekan (pressure).
Advokasi berbasis bukti, merupakan metode efektif membuka mata pengambil kebijakan bahwa di daerah itu ada fakta yang perlu segera disikapi melalui kebijakan. Cara menyampaikan data tersebut jangan menyalahkan pemerintah. Jika salah mengelola informasi, advokasi bisa gagal. Pemerintah bisa berdalih bahwa fakta itu bukan data resmi. Data yang dijadikan rujukan oleh pemda adalah BPS.
Advokasi berbasis bukti, harus bisa dikomunikasikan dengan pemerintah setempat melalui dialog dua arah, misalnya dengan diskusi atau hearing dengan DPRD. Terlebih jika data versi LSM itu menghadirkan representasi orang yang diperjuangkannya (baca : disabilitas) dalam suatu forum resmi. Sejatinya baik data versi pemerintah maupun data versi LSM, bisa disandingkan agar bisa saling melengkapi.