Demikian halnya dengan metodologi survei politik yang digunakan. Siapa, berapa dan dimana sebaran wilayah respondennya serta bagaimana proses menentukan seseorang untuk dipilih sebagai responden berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan, ormas, parpol, wilayah domisili. Suara responden merupakan suara repsentasi kepentingan yang dalam survei disebut sampel.
Kerja survei itu sesungguhnya adalah kerja ilmu pengetahuan. Saya teringat dengan diskusi saya dengan teman dosen, Dr. Syakir Radi, dosen Universitas Muhammadiyah Parepare. Untuk menguji kualitas air dalam suatu bejana cukup mengambil satu sendok air saja kemudian mengujinya. Hasilnya akan diketahui apakah kualitas air itu baik atau jelek. Menolak hasil survei berarti menolak ilmu pengetahuan.
Dinamika politik nasional saat ini, para elit dari partai lama dan para king maker sedang berfokus pada siapa capres dan cawapresnya yang akan diusung?. Hingga kini baru Partai Nasdem yang telah menentukan capresnya yaitu Anies Baswedan, tetapi untuk menentukan siapa cawapresnya, hingga kini belum ada keputusannya. Sedangkan partai lain, masih dalam posisi wait and see.
Untuk menentukan siapa partai yang bisa diajak berkoalisi merupakan dinamika tersendiri bagi partai politik untuk mengusung siapa capres dan cawapres yang tepat. Penentuan pasangan tersebut bukan hanya mempertimbangkan nasionalis-relius atau jawa-non jawa tetapi yang tak kalah pentingnya adalah ada pertimbangan chemistry. Namun pertimbangan yang paling objektif adalah presidential threshold.
Setahun sebelumnya, tahun 2022, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampil membangun wacana presidential threshold 0 %. Argumentasinya bahwa presidential threshold 20 % itu sangat membatasi hak warga negara untuk maju sebagai capres. Namun ide ini tidak mendapat respon dari para elit parpol. Perang gagasan demokasi prosedural vs demokrasi substantif, telah lama menjadi diskursus.