OPINI: Memasuki Tahun Politik

Sudah sering ada inisiatif baik perseorangan maupun partai politik untuk mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi tentang ketentuan presidential threshold 20 %. Persyaratan ini dinilai sebagai persyaratan yang bertentangan dengan konstitusi. Namun hingga kini belum pernah ada gugatan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Sementara undang-undang pemilihan umum dibuat oleh DPR. Sudah pasti anggota DPR khususnya dari parpol besar akan mempertahankan ambang batas dengan persentase jumlah yang tinggi (baca: 20 %) agar parpol kecil sulit mengajukan capres tanpa berkoalisi.

Di pihak lain untuk membangun koalisi mengusung capres dan cawapres dari partai kecil membutuhkan waktu yang cukup panjang. Selain itu membutuhkan kesepahaman atas kepentingan masing-masing parpol yang tidak mudah diakomodir. Dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi tetapi kepentinganlah yang abadi. Jika aspirasi tidak bisa diakomodir, koalisi bisa bubar.

Jika pilpres dilakukan dalam dua putaran seperti ketika pilgub DKI Jakarta, tahun 2017. Pada putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot memperoleh suara 42,99%. Pasangan Anies-Sandi memperoleh suara 39,95%. Pada putaran kedua, pasangan Anies-Sandi memperoleh suara 57,96%. Diduga mayoritas pemilih AHY-Sylviana, yang memperoleh suara 17.02%, bermigrasi mendukung Anies-Sandi.

Sekarang kita baru berada di pekan pertama bulan januari 2023, masih sangat panjang perjalanan dalam memasuki tahun politik ini. Politik itu dinamis dan tidak ada pola yang permanen untuk digunakan sebagai acuan dalam setiap kontestasi di semua level. Momennya selalu berbeda sehingga penting bagi kita sebagai pemilih untuk merekam jejak para calon presiden atau parpol sebelum menentukan pilihan.