PORTALINSIDEN.COM, MAMUJU — Stunting merupakan salah satu problem yang saat ini tengah menjadi perhatian pemerintah. Persoalan stunting memberikan dampak besar bagi tatanan kehidupan, baik dalam kehidupan sosial bahkan kehidupan pribadi seseorang.
Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia dan ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Hal ini dikarenakan anak stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil) saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang mana tentu akan sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif.
Dampak stunting ini juga bisa didapat dalam kehidupan pribadi seseorang. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Dalam dunia medis, penyebab utama stunting adalah malnutrisi dalam jangka panjang (kronis). Kekurangan asupan gizi ini bisa terjadi sejak bayi masih di dalam kandungan karena ibu tidak mencukupi kebutuhan nutrisi selama kehamilan.
Selain hal tersebut penyebab terjadinya stunting adalah faktor sosial ekonomi keluarga dan minimnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh ibu hamil serta para calon ibu hamil.
Pandangan senada disampaikan oleh Kabid PHA Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Kabupaten Mamuju Lenniwati ketika wartawan media ini menyambagi usai seremonial pembukaan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak yang digelar oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak yang dilaksanakan di Dayanginna Kecamatan Tapalang tanggal 2 Desember 2024.
Lenni menjelaskan bahwa salah satu sebab terjadinya stunting ini adalah akibat pernikahan anak. Pernikahan yang terjadi dimana usia anak belum matang untuk menjalani kehidupan berumah tangga.
Lenni lanjut menjelaskan bahwa, Lantas, apa korelasinya antara stunting dengan pernikahan anak, menurutnya, perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis belum matang, serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.
“Perempuan yang hamil di bawah usia 18 tahun, organ reproduksinya juga belum matang. Organ rahim, misalnya, belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin dan bisa menyebabkan keguguran”. tutur Lenniwati
Lenni lebih gamblang menjelaskan bahwa, Untuk mengatasi pernikahan anak, berbagai upaya dapat dilakukan diantaranya:
Memberikan pendidikan formal yang memadai kepada anak-anak, sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan
Memberikan sosialisasi tentang dampak negatif pernikahan dini, seperti risiko kesehatan, peningkatan risiko kekerasan dalam rumah tangga, dan pelanggaran hak-hak anak.
Memberdayakan ekonomi keluarga dengan memberikan peluang mata pencaharian, seperti pinjaman keuangan mikro.
Kemudian Peran Pemerintah untuk mengatur, memantau, dan memastikan berjalannya upaya pencegahan pernikahan anak. Pemerintah juga dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan dan menjamin anak mendapat layanan dasar secara komprehensif.
Dalam Undang-undang no 12 tahun 2022 tentang Tindak kekerasan seksual jelas di salah satu pasalnya mengatur mengenai Pencegahan segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Penanganan, Pelindungan, dan sangsi bagi orang tua, penghulu yang mengawinkan anak di bawah umur
“Sanksi hukum bagi pelaku perkawinan di bawah umur, denda Rp.6 juta dan sanksi hukum 2 tahun 8 bulan serta sanksi untuk penghulu yang mengawinkannya sebesar Rp12 juta, pungkas Lenniwati