Empati dalam Paragraf, Media dan Pembebasan Stigma

Portal — HIV/AIDS merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan dan sosial.

Oleh: Nur Fatimah

HIV/AIDS adalah dua kondisi yang saling terkait namun berbeda. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, khususnya sel T CD4 yang berfungsi melawan infeksi. Sementara AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV.

Meskipun HIV/AIDS adalah masalah kesehatan yang bisa diobati, banyak orang yang hidup dengan HIV (ODHA) masih mengalami stigma dan diskriminasi. Stigma yang cenderung menggambarkan penyakit ini sebagai “hukuman moral” atau “penyakit kaum tertentu” ini seringkali membuat ODHA enggan untuk mengakses layanan kesehatan dan dukungan psikologis.

Karena itu, Media memiliki peran strategis dan tanggung jawab moral dalam membentuk persepsi publik dan memberikan pemahaman ilmiah tentang penularan, pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS. Bagaimana Media menjelaskan bahwa HIV tidak menular melalui kontak sosial biasa, dan memberikan informasi komprehensif, menghormati privasi, mendorong empati sosial, serta mempromosikan inklusi dan non-diskriminasi.

Di Kota Parepare, yang merupakan wilayah strategis di pesisir Sulawesi Selatan, tidak lepas dari tantangan kesehatan yang dihadapi dan tak boleh diabaikan. Tercatat 649 kasus HIV/AIDS hingga Juli 2024 dan 47 kasus baru sejak awal tahun, daerah ini menjadi mikrokosmos kompleksitas persoalan HIV/AIDS dengan berada di posisi lima besar wilayah dengan penyebaran tertinggi di Sulawesi Selatan.

Lokasi geografis Parepare sebagai kota pelabuhan memainkan peran kritis dalam penyebaran HIV/AIDS. Pelabuhan bukan sekadar jalur transportasi, melainkan koridor perpindahan manusia yang membawa beragam risiko kesehatan. Mobilitas tinggi, pertemuan lintas budaya, dan keterbatasan pengawasan kesehatan menciptakan ekosistem penularan yang kompleks.

Selain itu, perkembangan teknologi dan penyimpangan seksual juga dianggap berkontribusi terhadap peningkatan kasus. Ditambah keterbatasan edukasi kesehatan reproduksi, stigma sosial yang menghalangi akses pemeriksaan dini, dan ketidaksetaraan akses layanan kesehatan.

Dari 649 kasus yang tercatat, sebanyak 40-45% kasus terkait perilaku lelaki seks dengan lelaki (LSL), dan menjadi kelompok paling terdampak dengan layanan kesehatan terbatas serta memiliki risiko tinggi akibat diskriminasi sosial. Sementara 39% kasus terkait pekerja seks, disebabkan rentannya ketidakstabilan ekonomi, minimnya edukasi kesehatan, dan risiko penularan yang tinggi. Sisanya tersebar di kelompok ibu rumah tangga yang terinfeksi melalui pasangan berisiko, dan keterbatasan negosiasi hubungan seksual yang aman, sehingga dapat mengalihkan risiko infeksi ke anak.