PORTAL — Seorang mahasiswa ditangkap karena mengunggah gambar hasil editan mantan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto tengah berciuman. Gambar itu viral. Tak lama berselang, aparat pun turun tangan. Mahasiswa tersebut ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) dan/atau Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, mahasiswa tersebut juga dikenai Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Namun, apakah benar tindakan ini merupakan penghinaan yang layak diproses secara pidana? Ataukah ini bagian dari ekspresi satire dalam demokrasi digital yang tak nyaman dikritik?
Pasal 27 ayat (3) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Ketentuan ini telah lama dikritik sebagai pasal karet karena multitafsir dan sering digunakan untuk membungkam kritik.
Dalam konteks ini, unsur utama yang perlu dibuktikan adalah adanya “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” UU ITE merujuk pada pengertian pencemaran nama baik dalam KUHP, yaitu penghinaan yang merugikan kehormatan atau nama baik seseorang. Namun, apakah mengedit gambar dua tokoh publik yang berciuman dapat dianggap sebagai perbuatan yang menyerang kehormatan?
Penting dicatat, penghinaan harus bersifat menyerang kehormatan pribadi. Dalam beberapa putusan Mahkamah Agung, kritik terhadap pejabat publik, termasuk presiden, harus dibedakan dari penghinaan terhadap pribadi seseorang. Gambar yang diedit itu, betapapun kontroversialnya, merupakan bentuk visual satire yang sering muncul dalam ruang ekspresi digital politik. Ia tidak menunjuk pada karakter pribadi atau menyebarkan kabar bohong yang menyebabkan kerusuhan (hoaks), melainkan menyindir kedekatan politik dua tokoh besar.
Sementara Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 mengatur tentang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran. Pertanyaannya: apakah gambar itu menyebarkan hoaks yang dapat menimbulkan kekacauan? Tidak ada indikasi bahwa publik mempercayai keaslian gambar tersebut. Justru banyak yang menyadari bahwa itu adalah hasil suntingan, seperti halnya meme politik lainnya.Jika unsur delik tidak terpenuhi, maka proses pidana ini justru berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara untuk berekspresi.
Dalam teori demokrasi deliberatif, ruang publik digital adalah tempat warga berdialog, mengkritik, dan bahkan mengejek elit kekuasaan sebagai bentuk kontrol sosial. Satire adalah salah satu bentuk tertua dalam ekspresi politik. Karikatur, meme, dan gambar editan telah menjadi senjata kritik tajam dalam masyarakat demokratis, yang dalam sejarahnya dipakai untuk menyindir tirani dan mempermalukan korupsi.Mungkin gambar itu sangat tidak etis bagi sebagian orang. Tapi ketidaknyamanan bukan alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi, terutama terhadap penguasa.
Konstitusi Indonesia sendiri menjamin kebebasan menyatakan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 50/PUU-VI/2008 juga telah menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat publik tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan pribadi, sepanjang tidak mengandung kebohongan yang merugikan secara pribadi. Maka, aparat penegak hukum semestinya lebih berhati-hati dalam menafsirkan ekspresi digital sebagai tindak pidana.
Meski secara hukum belum tentu bisa dipidana, bukan berarti unggahan mahasiswa itu etis. Etika digital menuntut pengguna media sosial untuk menghargai martabat orang lain, termasuk pejabat pemerintahan. Mengedit gambar tanpa izin, apalagi mengaitkannya dengan narasi yang menyudutkan secara seksual, bisa dinilai melanggar rasa kepantasan publik.
Namun, pelanggaran etika tak seharusnya direspons dengan ancaman pidana. Negara seharusnya mendorong literasi digital dan pendekatan non penal melalui edukasi, bukan kriminalisasi. Dalam konteks ini, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, atau bahkan platform digital, lebih tepat dilibatkan dalam penanganan masalah konten.Menghadapi era disrupsi informasi, pendekatan hukum pidana harus menjadi ultimum remedium, bukan alat kekuasaan untuk mengontrol kritik dan satire.
Ketika aparat lebih cepat menindak satire politik dibanding ujaran kebencian yang menyasar kelompok rentan atau berita bohong yang merusak tatanan bernegara, maka kita sedang menyaksikan distorsi politik hukum. Hukum digunakan bukan untuk melindungi hak publik, tapi justru untuk melindungi kenyamanan elite. Ini berbahaya. Bukan hanya bagi demokrasi, tetapi juga bagi legitimasi hukum itu sendiri.
Dalam negara hukum, hukum pidana bukan alat balas dendam sosial, melainkan jaring terakhir untuk menjaga keteraturan. Jika pasal karet terus digunakan secara represif, maka kita bukan sedang menegakkan hukum, melainkan menegakkan ketakutan.
Mengedit foto presiden tentu bukan perbuatan bijak, apalagi jika mengandung konten berbau seksual. Tapi apakah itu kejahatan? Di sinilah pentingnya membedakan antara perbuatan yang tidak pantas dan perbuatan yang melawan hukum. Tidak semua yang kita benci harus dijebloskan ke penjara. Demokrasi yang sehat harus tahan terhadap satire, bahkan yang paling pedas sekalipun.
Menghukum satire adalah cermin kekuasaan yang tak nyaman dikritik. Dan ketika hukum digunakan untuk menutup mulut kritik, saat itulah kita perlu mempertanyakan siapa sebenarnya yang menghina kehormatan negara, mahasiswa pengedit gambar, atau aparat yang membungkam suara?