Dilema Kepala Daerah Menata Birokrasi Pasca Pilkada

Tak jarang, pasca pelantikan kepala daerah baru, kelompok alumni IPDN berupaya “memasang badan” baik secara terbuka maupun tersirat untuk mempertahankan posisi sebagai pimpinan OPD. Mereka merasa percaya diri karena selama ini merekalah yang menguasai jalur komando pemerintahan teknokratis.

Bahkan lebih jauh, kelompok ini kerap membuka ruang “negosiasi kekuasaan” dengan kepala daerah baru dengan tawaran stabilitas birokrasi sebagai imbalan atas pengamanan jabatan mereka.

Fenomena ini bisa berbahaya jika dibiarkan tanpa kendali hukum. Dalam perspektif hukum administrasi negara, tindakan kolektif semacam itu bukan hanya berpotensi mengganggu netralitas ASN, tetapi juga menciptakan oligarki birokrasi di mana jabatan tidak lagi ditentukan oleh sistem merit, melainkan oleh kekuatan kelompok.

Kepala daerah yang terpilih melalui mandat demokratis tidak boleh terjebak dalam jebakan status quo birokrasi. Namun dalam menata ulang struktur, ia juga tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang mengikat. Jalan tengahnya adalah melakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja pejabat yang ada dan memastikan bahwa semua proses rotasi, mutasi, dan promosi dilakukan secara sah dan objektif.

Bahkan, untuk menjaga stabilitas birokrasi, Pasal 162 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa gubernur, bupati, dan wali kota yang baru dilantik dilarang melakukan mutasi pegawai ASN dalam jangka waktu enam bulan sejak pelantikan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Ketentuan ini menjadi pagar hukum agar kepala daerah tidak gegabah mengganti pejabat semata-mata demi loyalitas politik.

Namun, dalam praktiknya, kepala daerah yang baru menjabat sering kali berada dalam dilema. Jika terlalu lama mempertahankan pejabat lama yang tidak sejalan, kinerja pemerintahannya terhambat. Tetapi jika melakukan mutasi secara cepat, bisa melanggar batas hukum yang berlaku dan menimbulkan gugatan administratif di kemudian hari.

Menurut penulis, dalam perspektif hukum administrasi negara, kepala daerah dapat tetap menjalankan visinya tanpa melanggar hukum, asalkan proses rekrutmen pejabat dilakukan secara terbuka dan objektif. Kelompok ASN manapun, termasuk alumni IPDN, dapat ikut serta dalam seleksi terbuka tanpa hak istimewa.

Panitia seleksi (pansel) yang independen dan profesional menjadi kunci. Evaluasi terhadap pejabat eksisting juga sah-sah saja dilakukan. Bahkan UU ASN memungkinkan evaluasi kinerja sebagai dasar pemberhentian dari jabatan struktural jika memang terbukti tidak kompeten atau tidak mendukung kinerja.

Kepala daerah juga dapat memperkuat fungsi pengawasan inspektorat serta menggunakan instrumen penilaian berbasis e-kinerja agar proses pengambilan keputusan soal mutasi dan promosi lebih terukur dan sah secara hukum.

Namun disisi lain, Tak bisa dipungkiri, dalam praktik pemerintahan daerah, faktor politik dan loyalitas kerap menjadi variabel yang sulit diabaikan. Namun di tengah tuntutan profesionalisme dan penegakan etika jabatan, kepala daerah tidak boleh melupakan bahwa birokrasi adalah organ negara, bukan alat kekuasaan.

Hukum administrasi negara hadir untuk menjamin bahwa kewenangan dijalankan secara proporsional, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

Dalam konteks ini, kepala daerah harus mampu mengontrol antara keinginan politik dengan koridor hukum administratif yang menjamin keberlanjutan tata kelola pemerintahan.

Dengan demikian, mengganti atau mengangkat pejabat bukanlah soal “siapa yang dekat”, tetapi “siapa yang tepat”. Dan dalam negara hukum, yang tepat adalah mereka yang memenuhi syarat secara objektif dan dipilih melalui mekanisme yang transparan.