PORTAL — Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba tetap teguh menjaga nilai-nilai tradisional yang diwariskan leluhur. Namun, di balik keteguhan itu, tersimpan kisah adaptasi budaya yang menarik dalam menjalin interaksi dengan dunia luar.
Kajang, yang terbagi menjadi dua wilayah Kajang Dalam dan Kajang Luar, menyimpan nilai-nilai budaya yang khas, terutama konsep hidup sederhana yang dikenal dengan istilah *Kamase-masea*. Prinsip ini mendorong warga untuk hidup bersahaja, menjauhi kemewahan, dan tunduk pada ajaran adat yang disebut Pasang ri Kajang.
Sebuah studi etnografi yang dilakukan oleh peneliti pendidikan menyoroti bagaimana masyarakat Kajang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas budaya mereka. Melalui observasi dan wawancara mendalam, ditemukan bahwa masyarakat Kajang tidak sepenuhnya menolak dunia luar. Dalam bidang perdagangan, pendidikan, hingga akses terhadap layanan publik, mereka melakukan penyesuaian secara selektif.
“Yang kami tolak bukan teknologinya, tapi cara hidup yang bertentangan dengan ajaran adat,” ujar Zulkarnain, salah seorang tokoh masyarakat Kajang yang diwawancarai dalam penelitian tersebut.
Menariknya, generasi muda Kajang kini banyak yang mengenyam pendidikan di luar wilayah adat. Kesemuanya menjadi jembatan antara dunia tradisional dan modern, sembari tetap menghormati nilai-nilai yang dijaga leluhur mereka. Meski begitu, proses adaptasi ini tetap diawasi ketat oleh para pemangku adat, termasuk Ammatoa—pemimpin spiritual dan simbol moral masyarakat Kajang.
“Selama nilai *Kamase-masea* dijunjung, modernisasi bukanlah ancaman,” tambah Zulkarnain.
Studi ini juga menunjukkan bahwa kehadiran pihak luar, baik pemerintah maupun lembaga swasta, harus memperhatikan kearifan lokal agar tidak merusak tatanan sosial dan spiritual masyarakat Kajang. Salah satu bentuk keberhasilan adaptasi terlihat dalam cara masyarakat menggunakan teknologi untuk keperluan praktis seperti penerangan dan komunikasi, namun tetap melarang hal-hal yang dianggap melanggar adat.
Penelitian ini menegaskan pentingnya menghormati keberagaman budaya dalam pembangunan, serta menunjukkan bahwa komunitas adat seperti Kajang bukanlah masyarakat yang tertutup, melainkan masyarakat yang cerdas dalam menyaring pengaruh luar.