PORTAL — Di sebuah kampung sederhana di Kelurahan Lapadde, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, kolong rumah berlantai bambu (panrung-panrung) menjadi saksi bisu perjuangan seorang guru ngaji yang mengabdikan hidupnya untuk menebar ilmu. Bapak M. Jafar Bin LaDoma, putra bungsu dari lima bersaudara kelahiran Sidrap Amparita, tumbuh besar di Parepare setelah berkeluarga. Kesehariannya diisi dengan bekerja sebagai petani kebun dan mengajar Al-Qur’an kepada anak-anak sekitar rumahnya dengan penuh ketulusan .
Sejak remaja, Jafar tekun mempelajari Al-Qur’an dari seorang guru ngaji di dekat rumahnya. Pengalaman hidup yang pahit-manis membentuknya menjadi pribadi yang gigih. Ia memilih mengajar di kolong rumahnya yang sederhana, dengan lantai bambu sebagai alas belajar. Meski fasilitas terbatas, suara merdunya saat mengaji mampu memikat hati murid-muridnya. Metode mengajarnya khas: *mangijjang* (mengeja dalam bahasa Bugis), yang membuat anak-anak mudah memahami bacaan Al-Qur’an .
Bagi mantan muridnya, Jafar bukan sekadar mengajarkan huruf hijaiyah. Kedisiplinan, kejujuran, dan kemandirian menjadi nilai utama yang ditanamkan. Setiap usai mengaji, anak-anak diminta mengisi penampungan air atau menyapu halaman—kebiasaan yang diharapkan terbawa hingga ke rumah mereka. Hukuman seperti cambukan kayu bagi yang terlambat atau membolos tanpa kabar mungkin terkesan keras, tetapi murid-murid mengerti itu adalah bentuk kasih sayang. “Kami tidak dendam, justru takut mengadu ke orang tua karena sadar ini untuk kebaikan kami,” kenang salah seorang alumni .
Seiring perkembangan zaman, Jafar tak menutup diri dari inovasi. Ia sesekali bergabung dengan pengajian ibu-ibu majelis taklim di masjid sekitar, belajar dari pemuka agama yang diutus pemerintah kota Parepare. Tujuannya sederhana: memperkaya ilmu agar bisa memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Kolong rumahnya tetap menjadi tempat belajar, meski kini tantangan semakin kompleks dengan maraknya metode pembelajaran modern .
Banyak dari murid Bapak Jafar telah tumbuh dewasa, sebagian bahkan menjadi penghafal Al-Qur’an atau aktif di kegiatan keagamaan. Kisahnya mengajarkan bahwa ketulusan dan kesabaran dalam mendidik—meski dari tempat yang sederhana—bisa melahirkan generasi yang berkarakter. Seperti pepatah Bugis, *”Reso temmangingngi, malomo naletei pammase dewata”* (Usaha keras disertai keikhlasan akan mendapat ridho Ilahi).
Kisah Jafar adalah bukti bahwa pendidikan tidak selalu membutuhkan gedung megah atau kurikulum canggih. Kolong rumah, bambu, dan cambukan kayu adalah metafora dari cinta yang tegas—sebuah warisan nilai yang terus hidup di hati anak didiknya. Semoga inspirasi ini mengingatkan kita pada guru-guru di sudut kampung yang mengajar dengan hati, tanpa mengharap pujian.
*”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”* (Hadis Riwayat Ahmad).