Kisah Mariati yang Terikat tanpa Ikatan, dan Terjerat Administrasi Kependudukan

PORTAL — Di balik kesederhanaan rumah panggung di Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, Kota Parepare, tersimpan kisah perjuangan seorang ibu bernama Mariati (47) yang menggambarkan kompleksitas masalah administrasi kependudukan di tingkat akar rumput.

Mariati, yang sehari-hari berjualan kanse (nasi santan khas Bugis) di bawah rumah panggungnya, menjadi sorotan ketika menceritakan perjalanan hidupnya yang penuh lika-liku. Rumahnya yang sederhana dilengkapi toilet bantuan dari salah satu partai politik tahun 2021, hasil program sosial yang diprakarsai politisi lokal setempat.

“Sebelum toilet ini ada, keluarga saya menumpang di toilet tetangga selama 10 tahun. Bantuan ini sangat berarti bagi kami,” ungkap Mariati dengan tulus.

Kehidupan Mariati semakin berat setelah kehilangan anak laki-lakinya, Sahrul, yang meninggal di usia 17 tahun akibat TBC pada tahun lalu. Tragisnya, hingga kini Mariati belum melaporkan kematian anaknya untuk penerbitan akta kematian karena ketidaktahuan prosedur dan manfaatnya.

“Saya tidak tahu cara mengurus akta kematian dan prosedur apa saja yang diperlukan,” akunya dengan polos.

Masalah administrasi lainnya yang dihadapi Mariati adalah status perkawinannya. Meski telah berpisah dari suami selama 10 tahun akibat konflik rumah tangga, secara administratif keduanya masih tercatat dalam satu kartu keluarga (KK). Ketidaktahuan, kendala biaya, dan minimnya dukungan menjadi alasan utama mengapa perceraian belum dilegalkan.

Dampaknya, Mariati kesulitan memperbarui data KK dan KTP, serta mengalami hambatan dalam mengakses program bantuan sosial pemerintah.

Sebagai kepala keluarga yang menghidupi anak perempuan dan cucu berusia 4 tahun, Mariati sangat berharap bisa mengakses program perlindungan sosial seperti BLT, PKH, atau subsidi sembako. Namun, keluarganya belum terdaftar sebagai penerima manfaat.

“Saya tahu bantuan itu ada, tapi kadang saya merasa keluarga kami tidak terlihat. Padahal, kami juga sangat membutuhkan,” kata Mariati dengan nada lirih.

Kisah Mariati mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak keluarga prasejahtera dalam mengakses layanan administrasi kependudukan dan program perlindungan sosial. Kurangnya literasi administratif, minimnya sosialisasi, dan lemahnya pendataan di tingkat kelurahan menjadi faktor utama yang menghambat akses mereka terhadap hak-hak dasar sebagai warga negara.

“Saya berharap pemerintah lebih aktif mendata keluarga yang membutuhkan dan ada pendampingan yang jelas,” harap Mariati.

Pengalaman Mariati menunjukkan pentingnya peran perangkat kelurahan dan instansi terkait dalam memberikan edukasi dan pendampingan kepada masyarakat, terutama dalam mengurus dokumen penting dan mengakses program bantuan sosial yang tepat sasaran.