Westerling dan Pembantaian Sulawesi Selatan 1946-1947, Jejak Kelam yang Tak Boleh Terlupa

PORTAL — Peristiwa “ Korban 40.000 Jiwa” di Sulawesi Selatan pada tahun 1946–1947, berupa pembunuhan dan penyiksaan yang dipimpin oleh Kapten Raymond Pierre Paul Westerling, merupakan salah satu tragedi paling gelap dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia.

Penulis: A. Makmur Makka

Selama bertahun-tahun, Belanda menyebut operasi ini sebagai actie politionele, suatu istilah eufemistis yang menutupi realitas kekerasan sistematis. Tulisan ini mengajak pembaca menyimak, mengapa pemerintah kolonial melakukan operasi kekejaman seperti itu, serta mengevaluasi apakah tindakan Westerling merupakan “petualangan pribadi” atau bagian dari kebijakan negara kolonial.

Kembali ke latar belakang, bahwa setelah Jepang menyerah 1945, Belanda berusaha kembali memulihkan kontrol atas “Hindia Belanda”. Namun, kondisi geopolitik telah berubah drastis: (a). Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945) menciptakan realitas politik baru yang tidak lagi bisa diingkari.(b). Kekosongan kekuasaan di daerah-daerah luar Jawa, termasuk Sulawesi Selatan, membuat Belanda merasa kehilangan kendali atas struktur administratif yang dulu stabil. (c). Kebangkitan kelompok-kelompok pejuang lokal (laskar rakyat, bekas Heiho dan PETA, serta pemuda-pemuda bekas romusha) dianggap sebagai ancaman bagi restorasi colonial.

Selain itu, Belanda juga menghadapi kompetisi legitimasi dengan Republik di forum internasional (PBB, negara-negara Sekutu). Dalam konteks ini, Belanda terpaksa melakukan tekanan di daerah, termasuk di Indonesia bagian Timur, untuk menunjukkan effective control dengan melakukan tindakan militer yang cepat dan keras serta mengadopsi strategi militer untuk “menegakkan kembali ketertiban”, suatu narasi yang kemudian dilegitimasi sebagai aksi polisionil, seperti yang terjadi di ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta dan daerah lainnya.

Metode ini, bisa kita terka, karena pemerintah colonial, sejak lama menerapkan prinsip rust en orde (ketertiban dan keamanan). Paradigma ini mengizinkan: penggunaan kekerasan luar biasa atas nama stabilitas, tindakan represif terhadap apa pun yang dianggap “pemberontakan”, operasi militer yang dikemas sebagai “penertiban”, bukan perang.

Dengan demikian, istilah aksi polisionil bukan semata-mata retorik, melainkan ekspresi dari doktrin kolonial yang memprioritaskan dominasi atas hak hidup rakyat pribumi. Dalam kerangka doktrin inilah kekerasan di Sulawesi Selatan menjadi “normal” bagi aparat kolonial.

Kenapa di Sulawesi-Selatan ? Pemerintah kolonial Belanda memberi perhatian khusus Sulawesi Selatan karena beberapa faktor: Posisi strategis sebagai pusat administrasi dan logistik kawasan Indonesia bagian Timur dan pijakan terakhir jika Republik Indonesia Serikat ( RIS) gagal. Basis kuat pejuang republiken, termasuk kelompok penganut garis keras anti-kolonial di bawah tokoh seperti Andi Abdullah Bau Massepe, Andi Makkasau, Andi Mattalatta dan kawan-kawan (kelompok kaum muda), juga laskar-laskar yang muncul di berbagai daerah, serta jaringan kerajaan-kerajaan lokal yang mendukung Republik.

Akibatnya, Belanda menganggap Sulawesi Selatan sebagai “ruang yang harus segera diamankan”, walaupun melalui cara yang ekstrem.
Westerling: Pribadi Brutal atau Instrumen Negara?:

Secara faktual, Westerling adalah sosok dengan kecenderungan penggunaan kekerasan tanpa kompromi. Namun, menyebut tragedi 40.000 jiwa sebagai “petualangan pribadi” sepenuhnya tidak juga akurat. menurut wawancara Prof. Dr. Salim Said yang bertemu langsung Westerling di Belanda tahun 70-an, Westerling menyangkal bahwa ia tidak melakukan eksekusi rakyat sebanyak itu. Tetapi ada beberapa alasan ilmiah yang tidak bisa sepenuhnya dia elakkan: