PORTAL — Setiap kepala daerah terpilih tentu datang dengan visi dan misi pembangunan yang ditawarkan kepada publik saat kampanye. Namun pasca pelantikan, realisasi visi misi tersebut tidak dapat berjalan sendirian. Ia membutuhkan birokrasi yang loyal secara profesional, efektif, dan satu perspektif dalam menjalankan kebijakan. Di sinilah tantangan awal pemerintahan baru muncul, terutama ketika struktur birokrasi masih dipenuhi oleh pejabat pimpinan tinggi pratama (eselon II) masih peninggalan kepala daerah sebelumnya.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Dalam praktiknya, kepala daerah baru sering kali mendapati bahwa para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ada tidak sepenuhnya sejalan secara ideologis maupun administratif dengan arah kebijakan baru. Apalagi jika hubungan politik antara kepala daerah lama dan baru bukanlah hubungan yang harmonis atau berasal dari koalisi politik yang sama. Lebih dari itu, muncul pula desakan dari kelompok loyalis kepala daerah terpilih yang telah lama “berjuang” dan kini menanti ruang untuk terlibat dalam jabatan struktural, terlebih jika mereka telah memenuhi syarat administratif dan kepangkatan.
Lalu, apakah kepala daerah dapat serta merta mengganti para pimpinan OPD dengan orang-orang dekatnya? Ataukah ada batas hukum yang perlu diperhatikan?
Hukum administrasi negara menempatkan birokrasi dalam posisi netral, profesional, dan berdasarkan sistem merit. UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) secara tegas menyatakan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan melalui seleksi terbuka dan kompetitif. Bahkan dalam konteks kepala daerah, Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana diubah dengan PP No. 17 Tahun 2020, memberikan pengaturan lebih lanjut tentang mekanisme mutasi, rotasi, dan promosi jabatan struktural.
Di sisi lain, jabatan pimpinan tinggi pratama bukanlah jabatan politis. Meskipun secara praksis jabatan ini sangat strategis dalam pelaksanaan program kepala daerah, hukum menuntut agar proses pengisian jabatan tersebut tetap berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan pada kedekatan personal atau jasa politik.
Kepala daerah memang memiliki kewenangan dalam menilai dan merekomendasikan pengisian jabatan, namun kewenangan itu bukanlah kuasa mutlak. Ada batas yang mengikat secara hukum dan etika administratif, yaitu prinsip meritokrasi dan netralitas birokrasi.
Dalam banyak kasus, muncul pula dinamika tersendiri dari kalangan ASN yang memiliki jejaring institusional yang kuat, seperti para alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Di sejumlah daerah, kelompok ini bukan hanya sekadar menggalang solidaritas profesi, tetapi juga membentuk kekuatan kolektif yang mampu mempengaruhi konstelasi jabatan struktural.