LUWU UTARA, Portalinsiden.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Luwu Utara Daerah Pemilihan (Dapil) III, Heriansyah Efendi menghadiri acara syukuran Panen Padungku Pamona di Desa Bungapati, Kecamatan Tanalili, Kabupaten Luwu Utara, Rabu (16/07/2025).
Diketahui, Padungku adalah salah satu acara Adat Pamona pada saat melakukan syukuran panen atau acara adat lainnya. Acara tersebut pun berlangsung meriah, dihadiri sekitar 750 warga.
Selain warga, turut hadir pula Kepala Desa Bungapati, Nirvan Turoela, Sekretaris Camat (Sekcam) Tanalili, Direktur Perumda Kabupaten Luwu Utara, Danramil Bone-Bone/Tanalili beserta Rombongan, dan Pendeta Margaretha Hurampa STH.
Acara padungku ini dimeriakan dengan adanya Tarian Dero. Tarian Dero yang memiliki makna menyatukan perbedaan. Dalam Tari Dero, sebuah tarian yang dilakukan lebih dari satu orang atau dilakukan secara bersama-sama, yang melambangkan suka cita atau kebahagiaan kebhinekaan, serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Tari Dero atau Madero berasal dari Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
“Tarian ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Suku Pamona yang masih dipertahankan hingga sekarang. Tarian ini cukup sederhana, dan biasanya dilakukan di daerah atau lapangan yang luas.” kata Heriansyah Efendi, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN).
Sementara itu, Pendeta Margaretha Hurampa menjelaskan jika Tarian Dero menyimpan banyak makna di balik rangkulan tangan. Tari Dero adalah tarian yang berasal dari Suku Pamona.
“Bagi masyarakat Suku Pamona, tarian ini dilakukan sebagai bagian dari pesta adat, upacara adat, pesta panen raya, ungkapan rasa syukur dan kebahagiaan masyarakat kepada Tuhan atas semua hal yang telah diberikan kepada mereka,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat Suku Pamona juga menganggap bahwa Tarian Dero merupakan wujud kerukunan dan persahabatan, serta sebagai kesempatan untuk mencari pasangan hidup.
“Tarian ini juga dianggap sebagai pemersatu masyarakat Suku Pamona, karena dalam tarian ini, semua orang dari berbagai latar belakang baik miskin maupun kaya adalah sama. pada gerakan Tarian Dero, semua orang harus saling berpegangan tangan dan bergoyang. Namun tarian yang sebenarnya tidak saling berpegangan tangan,” jelas Margaretha.
Tradisi berpegangan tangan sendiri, tutur Margaretha, berawal dari zaman penjajahan Jepang, sebagai hiburan mereka. Pada awalnya, Tarian Dero hanya dilakukan di dalam lobo yang merupakan pusat ibadah masyarakat Suku Poso.
“Mulanya Tarian Dero dilakukan ketika pasukan perang pulang dari pengayauan. Hal ini dilakukan karena kepercayaan masyarakat Suku tersebut, percaya apabila terjadi musibah seperti gagal panen atau ada anggota masyarakat yang meninggal, maka mereka harus mencari tengkorak kepala manusia sebagai penolak Bala (pembawa sial), kemudian tengkorak yang didapatkan dari hasil Pengayauan diletakan di tengah Lobo, lalu ditarikan oleh masyarakat secara melingkar dengan sebuah gerakan tarian yang disebut dero,” terangnya.
Unagkapan senada juga disampaikan oleh Kepala Desa Bungapati, Nirvan Turoela. Ia menjelaskan, Dero dilakukan untuk mempererat kebersamaan, juga dianggap sebagai pemersatu masyarakat Suku Pamona. “Semua orang harus saling berpegangan tangan dan bergoyang. Namun tarian yang sebenarnya, tidak saling berpegangan tangan,” pungkasnya.