Sappe menjelaskan penanganan kasus tersebut, dimana pendamping langsung menfasilitasi melapor ke Ketua RW, Babinsa dan Babinkantibmas untuk segera mengamankan pelaku dan korban di bawa ke Puskesmas Lapadde untuk rawat.
“Namun akhirnya dilakukan mediasi terhadap ibu dan anak tersebut,” ungkap Sappe.
Kasus lain melibatkan seorang perempuan berinisial H (39 tahun) yang mendapat kekerasan fisik dari suaminya.
“Pendamping melaporkan kejadian ini ke Babinkantibmas Kelurahan, RT/RW untuk dilakukan mediasi secara kekeluargaan,” tutur Sappe.
Dugaan Kekerasan Seksual
KK Srikandi juga menangani kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh Melati (19 tahun, bukan nama sebenarnya). Kasus ini berujung kehamilan dan pelaku mendesak korban untuk menggugurkan kandungan.
“Pendamping melakukan penjangkauan kerumah korban dan selanjutnya ke polres untuk membuat pengaduan terkait hal ini,” jelas Sappe.
“Keluarga pelaku mau bertanggung jawab akan tetapi hanya ingin menikah siri. Kasus seksual dewasa selalu di anggap suka sama suka sehingga sukar untuk menerapkan UU TPKS,” pungkasnya.
Sappe menyoroti pentingnya ketegasan dari Pemerintah Daerah, khususnya DP3A, dalam menangani kasus-kasus seperti ini. “Ada anak (dalam kandungan) yang mesti harus dilindungi,” tegasnya.
Pertemuan RTL ini merupakan bagian dari upaya memperkuat peran pendamping Lembaga Berbasis Komunitas-Kelompok Konstituen (LBK-KK) dalam menangani kasus kekerasan dan perlindungan sosial di Parepare.