Tangis di Balik Senyum Badut

Kostum badutnya pernah disita. Irma harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan “seragamnya” kembali. “Yang saya tahu, ini satu-satunya cara supaya mereka tetap bisa sekolah.”

Ketika Parepare menjadi “zona merah” karena razia intensif, Irma nekat pergi ke Pinrang. Perjalanan pulang pergi menghabiskan sebagian penghasilannya, tapi ia rela asalkan bisa bekerja dengan tenang.

“Kalau di Parepare kena razia, saya kabur ke Pinrang. Kalau di Pinrang juga susah, saya balik lagi ke Parepare. Begitu terus,” jelasnya dengan senyum pahit.

Irma pernah mencoba jadi asisten rumah tangga, berharap kehidupan lebih stabil. Tapi siapa yang akan mengantar anak-anaknya ke sekolah? Siapa yang akan memastikan mereka makan siang?

“Saya berhenti kerja sebagai ART. Anak-anak lebih penting,” katanya tegas.

Di rumah sederhana di Panorama, Irma tinggal bersama orang tuanya. Setiap malam, setelah melepas kostum badut, ia menjadi ibu biasa yang membantu anak-anak mengerjakan PR dan bercerita tentang hari-harinya di sekolah.

Penghasilan sekitar 50 ribu rupiah per hari memang tidak banyak, tapi Irma pandai mengaturnya. Beras, lauk sederhana, dan uang jajan anak-anak menjadi prioritas utama.

Matahari mulai tenggelam, saatnya Irma pulang. Ia melepas kostum badut dengan perlahan, merasakan tubuh yang pegal-pegal. Tapi senyuman asli mulai terpancar ketika bertemu dan mendengar suara anak-anaknya.

“Saya tidak malu jadi badut jalanan,” kata Irma dengan mata berbinar. “Yang saya malu kalau anak-anak tidak sekolah, tidak makan. Ini pekerjaan halal, saya dapat rejeki dari keringat sendiri.”

“Selama anak-anak masih butuh sekolah, selama mereka masih butuh makan, saya akan terus jadi badut ini. Karena cinta ibu tidak akan pernah lelah.”

Irma masih berdiri di perempatan yang sama hari ini, melambaikan tangan dengan senyum yang penuh harapan. Di balik topeng badut itu, terdapat hati seorang ibu yang tak pernah menyerah.