Tangis di Balik Senyum Badut

PORTAL — Saat mentari menampakkan harapannya, dan saat kota mulai bergegas dengan rutinitas, Irma sudah berdiri di depan cermin di rumah orang tuanya.

Dengan tangan gemetar, ia mulai mengenakan kostum badut merah biru yang sudah kusam, satu-satunya “seragam kerja” yang memisahkannya dari kelaparan.

“Mama kerja ya, Nak,” bisiknya lirih pada si bungsu yang masih tertidur pulas di kasur tipis. Anak berusia 6 tahun itu tak tahu bahwa ibunya akan menghabiskan hari dengan berpura-pura bahagia di tengah terik matahari, sambil berdoa agar tidak dikejar-kejar petugas lagi.

Beberapa tahun lalu, kehidupan Irma masih terasa normal. Ia berdagang di Alun-alun Lapangan Andi Makkasau, memiliki suami, dan empat anak yang ceria. Namun takdir berkata lain.

“Setiap ada event, saya selalu diusir. Panitia minta bayar lost, tapi dari mana saya punya uang sebanyak itu?” kenang Irma, matanya berkaca-kaca mengingat masa lalu. “Suami saya juga mulai berubah. Akhirnya kami pisah.”

Dalam sekejap, perempuan kelahiran 1989 itu harus menerima kenyataan pahit, menjadi ibu tunggal dengan empat anak yang masih membutuhkan sekolah, makan, dan kasih sayang.

Kini, setiap pagi Irma mengenakan topeng, bukan hanya kostum badut, tapi juga topeng kebahagiaan palsu.

Di perempatan lampu merah Parepare, ia melambaikan tangan dengan senyum yang dipaksakan, berharap setiap pengendara akan memberikan recehan yang bisa menjadi nasi untuk anak-anaknya.

“Panas, hujan, saya tetap di sini,” ucapnya sambil mengelap keringat di balik kostum tebal. “Kalau tidak, anak-anak makan apa?”

Tapi perjuangan Irma tidak berhenti pada terik matahari atau hujan deras. Musuh terbesarnya adalah suara sirene Satpol PP yang membuat jantungnya berdegup kencang.

“Pernah suatu hari, saya sedang dapat rejeki lumayan, tiba-tiba ada razia,” cerita Irma dengan napas terengah-engah, seolah kembali merasakan ketakutan itu. “Saya harus lari pakai kostum badut ini. Bayangkan, badut berlari di jalanan sambil menangis di dalamnya.”