PORTAL — Matahari mulai condong ke barat ketika sosok renta itu tertangkap mata. Duduk bersila di pinggir Jalan Ahmad Yani, punggung bungkuk, mata menatap hampa. Di sampingnya, tongkat bambu berwarna kuning seperti sahabat setia yang selalu menemani perjalanan mencari sesuap nasi.
Lama’dong namanya. Usia 74 tahun, namun takdir masih memaksanya berkelana setiap hari dari Lemoe, Kecamatan Bacukiki, menuju Pasar Lakessi. Jarak yang tak dekat untuk sepasang kaki yang sudah lelah menopang hidup puluhan tahun.
“Bisakah saya diantar pulang?”
Kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya ketika seorang pengendara motor berhenti menyapa. Bukan permintaan biasa, ini jeritan hati seorang kakek yang terdampar di tengah perjalanan hidup.
“Saya dari Pasar Lakessi cari rezeki, di jalan uang ku hilang, saya mau pakai beli beras. Tidak ada mi saya pakai makan nanti.”
Suaranya bergetar. Mata berkaca-kaca. Uang hasil jerih payah seharian hilang entah di mana. Yang tersisa hanya harapan tipis dan perut yang mulai berbunyi meminta jatah.
Tapi lihatlah bagaimana wajah keriput itu berubah ketika si pengendara menawarkan bantuan. Raut kebahagiaan memancar, mata berbinar tak percaya.
“Tongeng mo nak?” (Betulkah nak?)
Tiga kata dalam bahasa Bugis yang mengandung begitu banyak makna ketidakpercayaan, harapan, dan rasa syukur yang mendalam.
Perjalanan singkat itu kemudian berlanjut dengan cerita hidup sang kakek. Setiap hari, rutinitas yang sama, bangun pagi, bersiap mencari rezeki, menempuh jarak jauh, dan pulang dengan apa yang bisa didapat. Hidup sederhana seorang manusia yang tak pernah menyerah meski usia sudah senja.
Sang penolong memang tak bisa mengantarkan hingga rumah, waktu mengejar dengan janji lain yang tak kalah penting. Namun kebaikan tak pernah berhenti pada keterbatasan. Ojek dipanggil, uang disisisihkan, harapan dititipkan agar bunyi perut kakek Lama’dong tak sekeras ketika kosong.
Kebaikan tak perlu muluk-muluk. Cukup berhenti sejenak, menyapa, dan mengulurkan tangan pada yang membutuhkan.
Kakek Lama’dong mungkin hanya satu dari ribuan lansia yang masih berjuang di usia senja. Mereka yang seharusnya menikmati masa istirahat, tapi takdir berkata lain. Mereka yang dengan keterbatasan fisik tetap berusaha mandiri, tak ingin merepotkan siapa pun.
Sore itu, di pinggir Jalan Ahmad Yani, dua hati bertemu dalam momen kemanusiaan yang sederhana namun bermakna. Satu memberi, satu menerima. Keduanya belajar tentang arti kehidupan yang sesungguhnya.
Rezeki bukan hanya tentang yang kita terima, tapi juga tentang yang kita bagi. Karena kadang, kebaikan terbesar lahir dari pertemuan tak terduga di pinggir jalan.